©  2007 Edwin Ngangi

Posted by Edwin Ngangi,  ewiend_ngangi@yahoo.co.id

 

 

 

PEMBERONTAKAN PERMESTA

 

Oleh : Joseph Frans Natanael Ngangi (CHEP)

 

Bagian 8

 

 

 

           

 

Tjaper as Guerilla Fighter…

 

Dalam operasi Serangan Umum tersebut, dalam duel fight dengan komandan Pos TNI Tomohon, telah gugur Kapten Permesta Lumeno, Kepala Staf Batalion. Keesokan harinya mayat Lumeno diseret dengan panser ke depan rumah ibunya di Paslaten…

 

        Pada saat tidak berhasrat melakukan aksi teror serta penghadangan di jalan raya, secara bergilir per peleton melakukan  patroli ke Desa Sea, Warembungan atau kepinggiran Bahu dan Malalayang. Ataupun mandi malam hari di Pantai Kalasey. Walaupun tidak pernah menerima dropping dari Komando Permesta, persediaan senjata dan peluru pasukan kami cukup. Sering di belakang Malalayang kami sengaja menghindari benturan dengan patroli rutin dari Mobrig (sekarang Brimob). Patroli ini berasal dari tangsinya di Sario-Tumpaan (sekarang  Mapolda Sulut). Sambil berjalan dalam formasi, patroli Mobrig membuang tembakan, beberapa anggota patroli meletakkan dos-dos atau tas berisi peluru di bawah rumput. Juga pernah Mobrig mengantar beberapa anggota ‘bauni’ di bioskop Benteng. 

Mengenai logistik dan urusan po’ot (perut) : “Puji Tuhanku dan Allahku, tiada kami kekurangan” Suplai berupa makanan, obat-obat dan pakaian, didapat berkat jasa saudara-saudara dan teman-teman dari Sea, Warembungan, Tinoor, Malalayang, dan Bahu. Mereka sering berkunjung ke markas. Beberapa yang ketahuan dipenjarakan malahan ada yang ditembak mati. Pernah kejadian juga, sedan hitam milik Uskup Verhoeven dari Tomohon menitipkan obat-obatan. Cara masyarakat Kleak lain lagi, sekitar jam 9 malam setelah mengantar miras ke pos TNI, kemudian mereka dengan sembunyi-sembunyi menyiapkan makanan untuk regu patroli kami. Droping makanan dalam sebuah rumah kosong di pinggiran kampung.

Makanan sehari-hari di markas disiapkan oleh Peleton Logistik berupa pisang santang rebus (maklum Sea dan Warembungan terkenal dengan produk kelapa dan pisang), dan daging yang diperoleh dari hasil buruan ‘Regu Mangasu’. Hasil berupa berupa : babi hutan, tikus atau sapi liar dari  ex-onderneming ‘Lingkei’ di Kalasey. Untuk ikan laut dan lauk Text Box: Seorang anggota yang terkapar kena tembakan, kemejanya lobang-lobang hangus bekas peluru, namun tidak ada satu lukapun, katanya dada sangat perih (Anton Tangkumahat – Warembungan). 

pauk, sekali-sekali kami menyetop oto penumpang Kalasei yang pulang belanja dari Manado.

                  Di Warembungan kami sering menerima dropping peluru dari seorang anggota Kaveleri (Pasukan Panser). Pernah datang  pesanan bahwa besok nanti ada rombongan KSAD menuju Tondano. Untuk itu pasukan Permesta jangan ganggu karena Jenderal Nasution ada dalam panser. Panser tersebut berpita merah-putih di ujung antene. Dasar “brengseknya” pasukan Jan Kaunang, malahan satu peleton sudah standby sejak malam dini di atas  Kilo 11 (jalan masuk Warembungan). Konvoi muncul jam 2 siang. Terdepan 2 jip terbuka berisi 1 regu baret merah berseragam loreng.  Di atas jip kedua terpasang sepucuk mitraleur. Disusul oleh 2 panser dan 1 pick up penuh tentara. Terjadi baku tembak sekitar 15 menit, semua tembakan ditujukan ke arah panser yang berpita merah putih. Tembakan salvo ke udara dari panser disusul brondongan mitraleur dan tembakan balasan dari pasukan pengawal. Dengan terlihatnya infantri musuh sedang berpencar menaiki perbukitan, seperti biasanya kami lari menghindar.

        Menurut penuturan informan, Serma. Kav. Frans Randang sangat marah dan katanya putus hubungan. Namun sebulan  kemudian dropping peluru dan obat-obatan berlanjut lagi. Dalam hal kenekatan menghadapi tentara musuh di medan terbuka dibuktikan Jan Kaunang dengan membuat markas di tepi jalan umum antara Warembunghan dan Sea.  ‘Bivak-bivak’ didirikan di perbukitan  perkebunan  Tenau.

                  Sementara menempati Markas Tenau tersebut terjadi lagi kemelut di Taratara. Komandan Bn. V 999 Polly Pauner dikup oleh Mayor Potu. Atas saran penulis, Jan Kaunang membentuk Komando Darurat Batalion V 999 (Kodar V Triple Nine). Ini mendapat  dukungan dari Kompi  Ha’ Polii di Kakaskasen dan Kompi Itja Supit di Kayawu. Sebagai reaksi, Boy Potu menugaskan 3 kompi dari Taratara ke Warembungan. Dan dari bukit seberang markas, mereka berteriak bahwa mereka datang sebagai teman. Teriakan itu yang oleh anggota kami dibalas  “Turun kalu brani”.  Selama dua hari tidak ada sesuatu aksi apapun dari mereka. Mereka hanya membuang-buang tembakan. Pada hari ke-3 sebagian dari mereka masuk kampung Warembungan sambil melepas tembakan-tembakan secara liar. Dentumannya terdengar oleh pos TNI Pineleng. Akibatnya Warembungan dihujani mortir. Karena panik mereka lari  masuk perkebunan Tinoor yang disambut pula oleh hamburan mortir dari pos TNI Tinoor. Untuk menutupi malu mereka lapor kepada Potu bahwa Jan Kaunang sudah kerja sama dengan tentara pusat.

        Sementara pesta mortir di Warembungan, Peleton kami sudah berada di belakang posisi kelompok penyerang markas. Mereka sedang makan siang. Dengan melepas tembakan langsung, kami perintahkan: “Lepas senjata kong cepat pulang !” Serentak mereka beranjak pulang, dan  meninggalkan berkarung-karung ubi bakar.

Text Box: Sudah dari awal fase gerilya, di jajaran komandan batalion ke atas,  tidak sin-kron akan garis struktural komando dan koordinasi  teritorial, sehingga sering terjadi konflik pembangkangan, pengu-asaan wilayah – tarik menarik personil, kup-kupan batalion dan lucut-melucut antar kesatuan. Dropping senjata, amunisi dan logistik tidak pernah sampai ke kesatuan-kesatuan Permesta di utara, sampe rokok PERMESTA  cuma pembungkusnya yang diperton-tonkan pada kami.  

            Seminggu kemudian Jan Kaunang menugaskan Peleton II dipimpin Anton Wenur melakukan serangan balasan.  Mereka berhasil melucuti pasukan pengawal dan menculik Boy Potu. Potu selama satu bulan menjadi tahanan di markas Tenau. Penjelasan dari Boy Potu tentang gejolak di tingkat pimpinan Permesta mula-mula kami ragukan tetapi setelah mengacak-acak tas dokumennya, kami temukan secarik nota. Nota tersebut bertulis tangan “Boy, supaya  segera atur pasukan sekitar Lokon” Di bawahnya ada paraf “Jus”. Yang setelah diteliti ternyata nota tersebut berasal dari Letkol. Jus Somba sebagai Panglima KDM. SUT. Setelah penulis berembuk dengan Jan Kaunang, seluruh pasukan di-appel. Mayor Boy Potu bertindak selaku Komandan Batalion Tarantula. Beliau menginspeksi pasukan kemudian dengan dua regu pengawal beliau pulang ke Komando Batalion di Taratara.

        Akan letak markas “Tenau” di medan terbuka dan di tepi jalan umum, tidak sulit dideteksi musuh. Pada malam sebelum penyerangan tentara pusat, setelah Kaunang menunjuk Berty Lempoy selaku komandan regu baru, seperti biasanya kami menyanyi bersama. Ada yang berdansa mengikuti irama yukukulele dan gebukan pada sebuah kotak kayu. Pesta berlangsung sampai pagi. Ada kemungkinan tentara pusat sejak tengah malam sudah siap menyerang namun mereka menyangka acara bernyanyi adalah sebuah jebakan. Sehingga operasi serangannya terulur sampai pagi.

        Sekitar jam 6 pagi kami dikagetkan oleh serentetan tembakan. Tembakan diikuti oleh ledakan-ledakan mortir di sekitar markas. Pasukan musuh yang datang dari arah Warembungan bermaksud langsung menggempur markas. Tidak diketahuinya bahwa pada tikungan 50 meter sebelum markas ada pos Peleton III. Brondongan barbren pos Peleton III langsung mendatangkan korban di pihak musuh.

        Kontak senjata dalam jarak sangat dekat berlangsung seru. Beberapa hand-granat yang dilemparkan musuh, ada yang sempat dilempar balik oleh pasukan Permesta. Satu buah meledak dan melukai tangan seorang anggota. Dalam beberapa menit musuh berhasil menerobos pos depan. Sementara baku tembak berlangsung dalam kompleks markas, lapisan kedua musuh telah menyebrang jalan. Dalam formasi  berbanjar mereka mulai mengepung markas dari sisi selatan.

        Pada saat critical moment tersebut pasukan kami mendapatkan ‘Help by Nature’. Seseorang menembak sebuah kantong besar sarang ‘ofu patirukan’ (lebah hitam). yang tergantung setinggi 12 meter pada sebuah pohon durian, jatuh terhempas berhamburan. Sarang itu tergantung di hadapan jajaran musuh yang sedang mengepung markas. Serangan ribuan lebah mengacau balaukan formasi musuh. Terdengar jeritan kesakitan akibat sengatan lebah ganas. Jeritan kesakitan tersebut menambah ramainya pertempuran. Musuh lari tak karuan. Ada yang lari ke arah Warembungan, ada ke arah Sea. Walaupun demikian, mereka masih lagi terkejar oleh peluru Tjaper. Lokasi markas yang telah menjadi medan pertempuran penuh nyala api dan asap tebal. Sehingga akibatnya, markas terhindar dari serangan ‘kamikaze ofu patirukan’. Ofu masih terus  mengejar barisan belakang musuh.

Setelah  menutupi dengan daun pisang tubuh komandan regu 3 yang baru ditunjuk semalam, Peleton-I menyusup keluar. Mereka menyeberang jalan dan mengambil posisi di bukit yang berseberangan dengan markas. Ini dilakukan untuk menghadang (hinderlaag) sayap kiri musuh.

Bunyi gesekan dan patahan semak belukar pertanda bahwa jarak musuh sudah sangat dekat. Perintah bisikan: “Kanan maju” dari komandan musuh, dilatah spontan oleh seorang Tjaper bingo-bingo dengan berkata: “Sama sama maju!” Kelatahan ini membuyarkan rencana penyergapan kami. Baku tembak terjadi selama sepuluh menit. Dan ketika dari markas yang sedang terbakar tidak terdengar lagi suara tembakan, kamipun tumingkas…

 

lanjut ke Bagian 9                                                   kembali ke Bagian 7

         

Uploaded on  http://tumoutou.com/permesta    by   rudyct     October 1, 2007