© 2007 Edwin Ngangi
Posted by Edwin Ngangi, ewiend_ngangi@yahoo.co.id
PEMBERONTAKAN PERMESTA
Oleh : Joseph Frans Natanael Ngangi
(CHEP)
Bagian 7
Tjaper as Guerilla Fighter
.
Rentetan tembakan dan dentuman tersebut seakan
sudah terjadi perang. Gumpalan asap tebal terlihat dari arah markas. Satu jam kemudian gerombolan musuh keluar
dari hutan. Mereka bernyanyi Nona manis
siapa yang punya..nona menado punya siapa..nona menado brawijaya punya.. ado manis manis e
Disambut
sorakan dari teman-temannya yang mulai membakar pondok-pondok pengeringan padi
dan milu
Para Tjaper yang sudah berjam-jam dibakar matahari sangat geram menyaksikan
ulah dari musuh. Dengan menempatkan 4 barbren
berjejer di atas batang pohon, sambil menggerutu, berteriak: Ini ngoni pe maniso !! Muntahan
ribuan peluru dari barbren diikuti
oleh brondongan dari 2 Juliana bren.
Selain itu, puluhan senjata lainnya turut menghajar musuh yang
sedang santai duduk makan.
Jelas terlihat tubuh-tubuh bergelimpangan tindih-menindih. Mereka ada yang saling dorong saat berlari di jalan
setapak. Ada yang terkejar peluru saat sedang berlari menaiki bukit. Ada yang
bersembunyi di belakang batang pohon, yang akhirnya terkapar karena peluru
menembus batang-kayu rapuh. Selama 5 menit kami dengan leluasa menembak musuh.
Tiba-tiba dicercar tembakan gencar dari samping kiri. Posisi kami berada di
medan terbuka. Dengan padi yang hanya setinggi lutut , kami menjadi sasaran
empuk musuh yang sedang keluar dari hutan. Pasukan kami mundur. Terdapat 3
anggota cedera ringan. Dari medan pertempuran tersebut kami hanya menemukan
satu laras panjang.
Akhirnya
Ranow porak-poranda. Kami pindah ke hutan Gunung Batu. Hutan ini berjarak 7
km dari Warembungan. Gubuk-gubuk didirikan di atas bukit batu dan hanya setapak
jalan masuk, dengan anak tangga ditata dari batu. Sekeliling bukit, kami tumpuk
batu-batu besar yang ditopang dengan
batang kayu.
Dalam
waktu kurang dari 2 bulan pasukan musuh menyerang markas. Baku tembak sengit
berlangsung dalam hutan sekitar bukit markas. Walau banyak korban dipihaknya
namun tentara TNI semakin nekat dengan gempuran dahsyatnya. Sekitar jam 3 siang terdengar seruan dari field speaker yang mengajak: ISTIRAHAT MAKAN. Mungkin suatu
siasat untuk mengangkat teman-teman mereka yang menjadi korban. Dan juga untuk
mendinginkan senjata mereka.
Pasukan kami memang tidak ada persiapan makanan. Apalagi amunisi sudah
menipis. Akhirnya secara mengendap-endap kami berangsur mundur. Saat naik ke
markas, kami berpikir hanya MENANG atau MATI. Sebab di markas kami tidak ada
jalan untuk mundur. Sisi kiri dan belakang terdapat jurang terjal dan dalam.
Kaunang
instruksikan: Jangan menembak sebelum ada perintah! sambil menunjuk kelompok
yang akan melepaskan tonggak-tonggak kayu penahan tumpukan batu. Setelah
setengah jam berlalu, tembakan musuh serentak dari ratusan senjata dan lonser. Musuh telah menerobos sampai ke
kaki bukit markas. Karena tidak ada tembakan
balasan, musuh mengira Permesta sudah lari. Sehingga membuat musuh lebih
penasaran untuk merebut markas. Puluhan penyerang berupaya naik dari sisi kanan. Yang lain dengan
tangga bambu memanjat tebing. Dan kelompok terbesar antre naik jalan setapak.
Tanpa mereka sadari akan ada jemputan batu maut dihadapannya. Pasukan kami
yang jongkok di belakang onggokan batu tegang menunggu perintah tembak. Saat
mengamati gerakan musuh yang semakin dekat, kami dikagetkan dengan letusan
pistol dari Jan Kaunang. Tembakan Jan kaunang langsung mengenai musuh terdepan
dalam jarak 5 meter.
Deretan musuh yang sedang naik tak sempat
menembak karena disikat oleh brondongan senjata Permesta. Dalam kepanikan musuh
berbalik turun saling dorong. Serbuan musuh dari samping kanan disambut
tembakan senjata otomatik dan barbren. Kemudian disusul gelindingan batu-batu
yang melindas belasan tentara. Sikon yang tak terduga oleh musuh,
mengacau-brantakkan formasi tempurnya. Timbul emosi kebringasan pasukan
Kaunang. Dengan teriakan seakan kesurupan, pasukan menyerbu dan mengejar musuh
sampai ke batas kampung.
Kembali
dari aksi pengejaran, di antara musuh yang menjadi korban, kami memungut
senjata-senjata, belasan granat, puluhan dos peluru, obat-obatan dan makanan
kaleng. Anggota TNI yang ditembak oleh Kaunang berpangkat serma. Saat ditemukan
sedang sekarat. Dengan suara serak-serak parau berujar: Jangan tembak... hanya ikut perintah
minta air Dalam
dompetnya terdapat foto: Isteri dan
Anak.
Pada
malamnya masuk informasi bahwa pasukan musuh telah standby di Warembungan. Mereka berencana menggempur markas Gunung
Batu. Pagi-pagi kompleks markas dihujani mortir pertanda start operasi balas dendam dari tentara musuh. Dan dalam satu jam,
terjadi tembakan yang gencar. Tembakan-tembakan tersebut terdengar
sampai di markas baru. Pasukan kami telah masuk beberapa ratus meter lebih
jauh ke dalam hutan. Kami hanya santai tidur-tiduran. Kenyang dengan nasi
blek. Sementara itu musuh telah membakar gubuk-gubuk dan membawa pulang
teman-temannya yang luka dan mati dalam pertempuran semalam.
Pada
subuh pagi 17 Agustus 1959 dari markas di Kobongpanjang, satu peleton turun
ke pinggiran Manado untuk aksi teror.
Regu III ditugaskan menembaki pos TNI Ranotana. Tembakan itu langsung
dibalas. Dan pasukan dikejar oleh musuh. Sambil lari ke luar kampung untuk
menghindari kejaran musuh, seorang
Tjaper nakal masih sempat menarik seekor boke. Katanya untuk pesta 17
Agustus.
Dari Ranotana kami masuk onderneming kelapa Karombasan milik van
Essen (sekarang SPN-Diklat Kepolisian). Di atas bukit tinggi, belakang kompleks
perbengkelan Broeder (sekarang Gereja Katolik Karombasan), oleh Jan Kaunang,
saya ditugaskan dengan 4 anggota turun dan menyeberang jalan raya (sekarang
Polsek Wanea). Dari atas bukit teman-teman membalas tembakan musuh untuk
melindungi kelompok 5 orang yang sedang membakar sebuah rumah bambu beratap
rumbia.
Pada saat
rumah yang terbakar roboh kami berlima terhenjak kaget melihat moncong meriam
dari sebuah tank yang sudah diarahkan ke tempat kami berdiri. Tiba-tiba deksel tank terbuka, disusul dengan
munculnya satu kepala berbaret hitam, Cepat
lari! katanya. Mungkin ini
jebakan, pikir kami. Karena untuk menyeberang jalan raya kami harus melintas
hanya 3 meter di muka moncong meriam. Apa bole buat. Dengan melangkah lunglai
kami menyeberang jalan. Saat itu kami hanya menunggu tembakan meriam yang
sewaktu-waktu akan melululantakkan tubuh. Sesaat tiba di sebrang, kami lari
pontang panting di antara tanaman milu. Tanaman milu putus-putus oleh terjangan
peluru TNI yang telah menyusul tanknya. Saat terhosa-hosa mencapai puncak
bukit, secepat kilat peluru-peluru meriam tank pecah meledak membongkar tanah
domato dan akar pohon mangga tempat kami jatuh tengkurap. Punggung dan kepala
tertimbun batu dan tanah.
Regu II
yang dipimpin Anton Wenur menggerebek pos TNI di cot Kleak. Mereka menembak 3 tentara musuh. Namun satu anggota
tewas terjebak dalam steleng musuh. Kemudian bersama Regu I dipimpin Max
Kaunang, kami masuk plein Bahu (sekarang Fak. Perikanan Unsrat). Saat itu
sedang berlangsung pertandingan sepakbola. Saat menyadari akan kehadiran
penonton gondrong bersenjata yang ikut bersorak-sorak, masyarakat mulai panik.
Tetapi setelah mengenali beberapa teman mereka yang juga asal Bahu, sorakan
berbalik Permesta
permesta..
Sorakan ditujukan pada kami orang-orang utan yang untuk kali pertama mereka
dilihat sejak masuk hutan. Sepintas kami sempat melihat ada beberapa anggota
TNI yang ikut menonton. Tetapi secepatnya mereka menghilang karena tidak siap
menghadapi musuh nomor satunya. Musuh mereka yang sewaktu-waktu dapat
bertingkah beringas.
Peristiwa
tersebut memancing serangan balasan tentara pusat. Dalam dua hari
berturut-turut, siang dan malam, mereka membombardir seluruh kantong kami.
Tembakan dari roket lonser meriam 42 loop
yang dinamakan Orgel Stalin
buatan Cheko. Siangnya wilayah kami ditembaki dan dibom oleh dua mustang AURI.
Pada hari ketiga pasukan TNI melakukan operasi besar-besaran. Tetapi operasi
tersebut tanpa bertemu pasukan Permesta. Karena pasukan Permesta berkelompok,
berpindah-pindah dalam persembunyiannya.
Selanjutnya
markas pindah ke ex-onderneming
Belanda Nomorampa 1 km sebelah barat Desa Sea (skrg kampus mini Unsrat).
Kompleks markas seakan perkampungan kecil. Di antara barak dibuat belasan
pondok keluarga tentara Permesta yang exodus
dari selatan.
Ketika perintah Komando Batalion supaya kami turut dalam
operasi Serangan Umum di Tomohon,
markas Nomorampa digerebek tentara pusat. Mereka menembak mati seorang ex-TNI
asal Jawa dari kelompok exodus.
Kemudian markas didatangi anggota Bn. Badak Hitam dari Ranotongkor. Mereka
menculik 2 anggota kami. Satu anggota berhasil melarikan diri. Dari dia diterima laporan bahwa temannya telah
didorong hidup-hidup ke dalam sungai dengan kaki dan tangan terikat
Pada malam
berlangsungnya operasi Serangan Umum l ke kota-kota dan kecamatan, Pasukan
Kaunang masuk kampung Kolongan Tomohon di kompleks pekuburan Lewet
samping RS. Gunung Maria. Sambil melepas
tembakan, berteriak dan bernyanyi diiringi sebuah gitar yang dibawa seorang
anggota. Pung pung pung o permesta
bukang sembarang. Hal ini untuk memancing panser musuh yang terdengar
menderu-deru di pertigaan Matani, 80 meter dari tempat kami berada. Tiba-tiba terdengar derap cepatu-cepatu boots di aspal jalan. Terpaksa
peluru roket senjata anti tank (PAT) yang kami siapkan untuk menghancurkan
panser ditembakkan ke deretan patroli musuh tersebut. Akibatnya peluru anti
tank tersebut menembus tubuh 3 anggota TNI, dan meledak pada tanggul jalan.
Kabarnya jalan ke Rumah Sakit ditutup satu minggu.
Dalam operasi Serangan Umum tersebut, dalam duel fight dengan komandan Pos TNI Tomohon, telah gugur Kapten Permesta Lumeno, Kepala Staf Batalion. Keesokan harinya mayat Lumeno diseret dengan panser ke depan rumah ibunya di Paslaten
lanjut ke Bagian 8
kembali ke
Bagian 6
Uploaded on http://tumoutou.com/permesta by rudyct