©
2007 Edwin Ngangi
Posted
by Edwin Ngangi, ewiend_ngangi@yahoo.co.id
KAKANTAREN NE TJAPER-TJAPER
BATALION - I
TARANTULA
Hidup pasukanku beeni Tarantula
Hai
kawanku jantan rimba bni Tarantula
Hidup
bersatu mati bersama
Lenyapkan
sipenjajah
Agar
tercapai tujuan suci
Hidup
berbahagia
Dengan
kukunya yang tajam
Tarantula menerjang
Barang
siapa berbuat kejam
Pada
rakyat sekarang
Tjaper-Tjaper
rela berkorban
Untuk
Tana Minahasa
PEMBERONTAKAN
PERMESTA
Oleh :
Joseph Frans Natanael Ngangi (CHEP)
Bagian 6
Tulisan ini belum selesai
.penulis masih mengingat-ingat apa yang lain
yang belum tertuang, terlewati, dan ter
ter... yang lain. Misalnya awal
pertemuan penulis dengan istri yang adalah seorang tawanan perang Permesta,
yang harus mendapat ACC dari penulis untuk vonis mati karena isu yang beredar
bahwa beberapa anak gadis di Desa Bahu
Ataukah beliau masih mencoba melupakan apa yang sebenarnya
sudah terlintas dalam ingatan?
Terlalu pahit
..
III. TJAPER as GUERILA FIGHTER
Setelah 2 hari Tomohon jatuh, peleton kami yang masih tetap kompak sedang
konsolidasi di Woloan. Penulis bersama seorang teman, Salmon Kaunang, menemani
komandan peleton Lettu. Bert Mangindaan menemui pimpinan Permesta di Desa Lahendong.
Dalam pertemuan di rumah Letkol. Jus Somba, nampak hadir a.l. : Ventje
Sumual, Jus Somba, John Ottay, Dolf Runturambi, Abe Mantiri dan Kawilarang.
Seusai rapat, kami berdua diperintah pulang ke Woloan. Esoknya komandan peleton
jelaskan bahwa tugas Combat untuk
menyusup secara rahasia ke dalam linie tempur musuh. Combat
harus melakukan teror serta sabotase. Dan perintah khusus dari Sumual untuk
Peleton Combat bahwa kami mula-mula
harus bergabung dengan pasukan Mongdong.
Pada hari itu juga, barisan peleton
kami dengan bendera merah putih melalui Wailan menuju Tomohon. Tiba di
Kakaskasen kami diterima oleh Mayor Mongdong yang dikawal oleh herder
bringasnya Piter Tumurang. Mongdong menempatkan kami dalam sebuah rumah milik
seorang pendeta. Rumah itu berhadapan dengan markas sekaligus kediaman Mongdong
(sekarang komp. Kantor Walikota Tomohon). Malam hari, kami ditugaskan
menjaga pos komando.
Setelah sebulan lebih, belum ada perintah in combat action. Timbul kejenuhan. Apalagi ada informasi bahwa
peleton kami sedang diawasi karena secret
operation telah bocor. Kami akan digabungkan dengan TNI untuk menggempur
Pasukan Permesta.
Dengan hanya menyisakan 9 pucuk senjata laras panjang untuk
yang bertugas di pos, 13 anggota, masing-masing membawa 2 pucuk senjata, sebuah
ransel terisi peluru dan perlengkapan lainnya. Kami bergegas dalam kegelapan
malam. Mengendap-endap di belakang rumah-rumah penduduk. Lalu potong kompas
melalui kobong-pece, kobong-milu, dan semak belukar. Berlari lurus ke depan.
Kami hanya berpatokan ke puncak Gunung Lokon. Setelah menyeberang ruas jalan
Kayawu-Taratara, tiba di persawahan, muncul sebuah oto pick up. Mobil itu dengan lampu sorot menyusuri ke segenap penjuru. Dan
melalui sebuah field speaker
terdengar suara Piter Tumurang Wisamo kamu? Disusul tembakan sporadis dari
senjata 12,7 yang terpasang pada
mobil.
Setelah beberapa hari mencari kontak dengan pasukan Permesta
di perkebunan Kayawu, kami ditemui Kapten Wawolumaja, komandan Batalion
Banteng. Wawolumaja mengajak kami bergabung ke dalam kesatuannya. Dia
mengiming-imingi kami akan diberi posisi mulai dari wakil komandan regu sampai
komandan peleton. Akhirnya kelompok 13
dari Peleton Combat yang telah
bertempur dan bertekad sama-sama hidup, sama-sama mati bubar terpisah dalam kesatuan
masing-masing.
Setelah kurang lebih 2 bulan sebagai wakil komandan regu
dalam Batalion Banteng, saya diajak Jan Kaunang, komandan Combat dari Batalion Sambar Nyawa pimpinan Daan Karamoy. Jan dan
rombongannya kebetulan lewat wilayah
Bn. Banteng di lereng Gunung Lokon (Masering).
Dalam rangka menyusun kekuatan dan melebarkan wilayah
teritorialnya, Daan Karamoy selain di Mahawu (Kembes), juga berupaya menguasai
Lokon. Karamoy mengkup Kapten Wawolumaya. Kemudian dia mem-bentuk batalion
Sambar Nyawa B. Dia mengangkat kakaknya Marten Karamoy selaku komandan
batalion. Selanjutnya menugaskan Jan Kaunang untuk meng-koordinir
kelompok-kelompok Permesta sekitar Tinoor dan Warembungan. Dan saya oleh Daan
Karamoy ditugaskan mendampingi Jan Kaunang sebagai Bintara Kompi.
Dari markas batalion Sambar Nyawa di Mahawu, rombongan Jan
Kaunang sebanyak 18 orang dengan 11 pucuk senjata, melalui Desa Kali menuju
perkebunan Tinoor. Saat menyeberang jalan raya Manado Tomohon (kilo 12),
terdengar deruman mobil dari arah Manado, ternyata sebuah bus Tomohon. Dikira
hendak merampok, para penumpang yang panik langsung menyodorkan uangnya
yang tentu kami tolak. Mereka merelakan
rokok dan beras. Sedang asyik ngobrol dengan penumpang, kami dipergok 3 truk
pasukan TNI yang mungkin berencana operasi ke selatan Minahasa. Kami
berhamburan lari naik perbukitan sambil dikejar tentara pusat. Kemudian isyu
berkembang bahwa gerombolan Permesta merampok dan aniaya penumpang dan sejak
itu bus penumpang dikonvoi dengan kawalan tentara TNI dan panser.
Baru seminggu menempati barak yang dibuat dalam hutan sekitar
200 meter dari bron Warembungan, Jan
Kaunang menugaskan satu regu membongkar instalasi air minum. Dan seminggu
kemudian dengan dikawal tentara TNI dan satuan Polisi Militer dari Pineleng,
petugas kotapraja (belum ada PDAM) memasang kembali pipa-pipa tersebut.
Malamnya regu sabotase turun untuk membongkar lagi. Operasi ini harus dibayar
mahal dengan hilangnya satu kaki dari anggota bernama Ottay (Tinoor). Ottay
terpijak boobytrap.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak berangkat dari Mahawu telah
terekrut 52 anggota. Dengan memiliki 36
senjata organik dari kelompok bersenjata sekitar Tinoor, Sea, anak-anak Bahu,
Malalayang, Pineleng dan Warembungan. Di antaranya teman-teman bekas anggota
Peleton Combat Kompi Kinilow. Secara
taktis pasukan kami merupakan kesatuan independent
yang menguasai wilayah Kalasey, Malalayang, Bahu, Warembungan, Sea, dan Tinoor.
Dari Gunung Bantik (belakang Pineleng) sampai Gunung Empung di atas Tinoor. Pasukan kami lebih
dikenal dengan Pasukan Jan Kaunang dijuluki Jin Kilo 11 yang ditakuti oleh
kawan dan lawan karena keberanian dan kebringasan anggotanya dalam bertempur.
Akibat aksi
teror dan penghadangan yang sering dilakukan Pasukan Kaunang pada akhir tahun
1958, membuat tentara pusat terusik. Juga penasaran dengan ulah segerombolan
Permesta di pinggiran selatan Kota Manado. Semula Pasukan Kaunang diremehkan.
Mendapat serangan pertama dari pasukan Mongdong, ex-milisi Tjaper yang membelot, dipimpin
oleh Piter Tumurang. Baku tembak hanya berlangsung 2 jam. Perang ini berakhir dengan pengejaran
terhadap anak buah Piter Tumurang yang kucar-kacir turun ke Pineleng. Akan mencari
tahu keberadaan Piter yang bersembunyi saat itu, kami memanggil-manggil: Kalumpang [1]. Piter Tumurang terpancing emosinya. Dia akhirnya
berteriak: O koi-namio, Tomuung
Jawaban tersebut membocorkan dimana posisinya. Piter saat itu rupanya terjebak dalam
bak kontrol air PAM. Namun oleh nekat berkorban ajudannya, beliau luput dan
tumingkas. Dia berlari menyusul anak buahnya. Dengan membembeng cepatu lars
kiri di tangannya (mungkin so blas karna tidak biasa). Si Tambeng, ajudannya
asal Talete (ex-atlit PON), kami
kuburkan di perkebunan Warembungan.
Informasi yang ada, saat tiba di Pineleng dengan geram Piter
Tumurang menghardik masyarakat Ngoni batowo (berdusta) bilang cuma 300, ada 5000
dorang di Warembungan. Keesokan
harinya masyarakat yang tiap malam biasanya menyiapkan makanan untuk pasukan
kami, dievakuasi ke Pineleng. Namun justru markas kami pindahkan ke Kampung
Warembungan (1 km dari jalan raya).
Seminggu kemudian, serangan oleh 1
kompi RPKAD. Dan sebagaimana memerangi pasukan Mongdong, terjadi perang
kucing-kucingan di belakang Warembungan. Pasukan kami secara berkelompok 3 4 orang
menempati cot-cot kebun pisang dan milu. Meskipun RPKAD dikenal
dengan kemampuan prima penguasaan medan (all
condition and weather) tetapi mereka kewalahan. Karena mendapat tembakan
dari segala arah. Ada yang sengaja kami biarkan lewat dulu baru dihajar
tembakan. Dari anggota kami tidak ada yang korban. Di pihak musuh, Lettu.
Mokalu[2] kena peluru di kaki.
Kemudian markas dipindahkan ke hutan Ranow kurang lebih 6
km dari Warembungan. Hanya dalam waktu 2 bulan, lokasi kami telah diketahui oleh musuh. Sebaliknya
rencana operasi TNI bocor melalui informan. Menurut informasi, pasukan Permesta
akan dikepung. Di Warembungan telah ada satu batalion pasukan penyerang dibantu
kesatuan PAP (Pasukan Anti Permesta). Juga satu kompi
musuh standby di Sea, dan satu
kompi di Tinoor. Saat subuh kami
menyiapkan tempat hinderlaag
(penghadangan). Hinderlaag berada di
bukit-bukit ladang padi, menghadap jalan setapak ke markas. Di belakang batang-batang pohon (bekas
tebangan saat membuka ladang) kami jongkok mengamati musuh yang sedang
mengamankan rute penyerangan. Mereka menghamburkan peluru mortir. Tampak di
depan kelompok forspit musuh berjalan
dalam formasi siaga. Sambil berjalan, mereka menembak ke depan dan ke samping.
Mereka memasuki hutan, disusul oleh ratusan tentara yang juga melepaskan
tembakan-tembakan sporadis. Sepasukan musuh bersiaga di peladangan padi bersama
satuan mortir dan kelompok perwiranya.
Rentetan tembakan dan dentuman tersebut seakan
sudah terjadi perang. Gumpalan asap tebal terlihat dari arah markas. Satu jam kemudian gerombolan musuh keluar
dari hutan. Mereka bernyanyi Nona manis
siapa yang punya..nona menado punya siapa..nona menado brawijaya punya.. ado manis manis e
Disambut
sorakan dari teman-temannya yang mulai membakar pondok-pondok pengeringan padi
dan milu
lanjut ke
Bagian 7
kembali ke Bagian 5
Uploaded on http://tumoutou.com/permesta by rudyct
[1] Sebelum Permesta bila ketemu Piter Tumurang, sambil kucing-kucingan di belakang toko-toko, kami memanggilnya kalumpang, (entah mengapa julukan itu dibenci beliau) dan dengan menerobos toko, Piter mengejar sambil berteriak-teriak koinamio.
[2] Thn 1961 di Kamp Rehabilitasi Dinoyo Jawa Timur, kami dikunjungi Lettu RPKAD Mokalu (asal Rumengkor) dan kawan-kawan