©  2007 Edwin Ngangi

Posted by Edwin Ngangi,  ewiend_ngangi@yahoo.co.id

 

 

"TJAPER"

                                                            as

GUERILLA  FIGHTER

 

                               

                                                                                                                      

                                                                                                                                                     

KAKANTAREN NE’ TJAPER-TJAPER

BATALION - I  “TARANTULA”

                  

                    Hidup pasukanku be’en’i Tarantula

                    Hai kawanku jantan rimba b’n’i Tarantula

                    Hidup bersatu mati bersama

                    Lenyapkan sipenjajah

                    Agar tercapai tujuan suci

                    Hidup berbahagia

 

                    Dengan kukunya yang tajam

                    Tarantula menerjang

                    Barang siapa berbuat kejam

                    Pada rakyat sekarang

                    Tjaper-Tjaper rela berkorban

                    Untuk Tana Minahasa


 PEMBERONTAKAN PERMESTA

 

Oleh : Joseph Frans Natanael Ngangi (CHEP)

 

Bagian 6

 

 

Tulisan ini belum selesai….penulis masih mengingat-ingat apa yang lain yang belum tertuang, terlewati, dan ter… ter... yang lain. Misalnya awal pertemuan penulis dengan istri yang adalah seorang tawanan perang Permesta, yang harus mendapat ACC dari penulis untuk vonis mati karena isu yang beredar bahwa beberapa anak gadis di Desa Bahu – Manado akan menikah dengan tentara pusat…………. († Joseph FN Ngangi, 23 Nov. 1937 – 15 Feb. 2007)

 

 

Ataukah beliau masih mencoba melupakan apa yang sebenarnya sudah terlintas dalam ingatan?

Terlalu pahit……..

 

 

III.  TJAPER as GUERILA FIGHTER

 

Setelah 2 hari Tomohon jatuh, peleton  kami yang masih tetap kompak sedang konsolidasi di Woloan. Penulis bersama seorang teman, Salmon Kaunang, menemani komandan peleton Lettu. Bert Mangindaan menemui pimpinan Permesta di Desa Lahendong. Dalam pertemuan di rumah Letkol. Jus Somba, nampak hadir a.l. : Ventje Sumual, Jus Somba, John Ottay, Dolf Runturambi, Abe Mantiri dan Kawilarang. Seusai rapat, kami berdua diperintah pulang ke Woloan. Esoknya komandan peleton jelaskan bahwa tugas Combat untuk menyusup secara rahasia ke dalam linie tempur musuh.  Combat harus melakukan teror serta sabotase. Dan perintah khusus dari Sumual untuk Peleton Combat bahwa kami mula-mula harus bergabung dengan pasukan Mongdong.

            Pada hari itu juga, barisan peleton kami dengan bendera merah putih melalui Wailan menuju Tomohon. Tiba di Kakaskasen kami diterima oleh Mayor Mongdong yang dikawal oleh ‘herder bringasnya’ Piter Tumurang. Mongdong menempatkan kami dalam sebuah rumah milik seorang pendeta. Rumah itu berhadapan dengan markas sekaligus kediaman Mongdong (sekarang komp. Kantor Walikota Tomohon). Malam hari, kami ditugaskan menjaga  pos komando.

        Setelah sebulan lebih, belum ada perintah in combat action.  Timbul kejenuhan. Apalagi ada informasi bahwa peleton kami sedang diawasi karena secret operation telah bocor.  Kami akan digabungkan dengan TNI untuk menggempur Pasukan Permesta.

        Para anggota peleton yang enggan memerangi sesama Tjaper di Kombi dan Tulap mulai mereka-reka rencana. Bahwa 13 anggota Combat berniat masuk hutan, dan yang lain pulang kampung. Pelarian akan dilakukan malam hari. Bagi anggota yang tinggal akan terus mengatur pos jaga. Mereka akan menunggu 1 jam baru melapor kepada Piter Tumurang tentang pelarian tersebut.

        Dengan hanya menyisakan 9 pucuk senjata laras panjang untuk yang bertugas di pos, 13 anggota, masing-masing membawa 2 pucuk senjata, sebuah ransel terisi peluru dan perlengkapan lainnya. Kami bergegas dalam kegelapan malam. Mengendap-endap di belakang rumah-rumah penduduk. Lalu ‘potong kompas’ melalui kobong-pece, kobong-milu, dan semak belukar. Berlari lurus ke depan. Kami hanya berpatokan ke puncak Gunung Lokon. Setelah menyeberang ruas jalan Kayawu-Taratara, tiba di persawahan, muncul sebuah oto pick up. Mobil itu dengan lampu sorot menyusuri ke segenap Text Box: Maksud Daan Karamoy menemui Ventje Sumual di Tompasobaru, mem-bawa Kol. Supangkat dari Intel MBAD yang ditangkap oleh Pasukan Sambar Nyawa di perkebunan Kembes,  tapi karena situasi genting, rombongan Daan Karamoy hanya bisa sampai Amurang dan bermaksud pulang ke Mahawu.
Adapun Daan Karamoy seorang bintara desertir dari TNI yang sebelum per-golakan Permesta bersama isterinya Len Karamoy memimpin sekelompok gerombolan pecahan dari PPK (Pa-sukan Pembela Keadilan) pimpinan Jan Timbuleng.
Nama lengkapnya: Simon Jan Timbuleng, itu sebabnya pada lengan setiap ang-gota inti gerombolan PPK ada tatoo huruf S berbentuk ular melingkar pada huruf JT. Jan Timbuleng seorang  pe-juang 45 dalam kesatuan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) setelah revolusi kemerdekaan karena kecewa bergabung dalam BSH (Barisan Sakit Hati) dan saat pulang kampung membentuk PPK (Pasukan Pembela Keadilan) yang sampai pecah Pergo-lakan Permesta bermarkas di Desa Lobu (Minsel).

penjuru.  Dan melalui sebuah field speaker terdengar suara Piter Tumurang “Wisamo kamu?” Disusul tembakan sporadis dari senjata 12,7 yang terpasang pada  mobil. 

        Setelah beberapa hari mencari kontak dengan pasukan Permesta di perkebunan Kayawu, kami ditemui Kapten Wawolumaja, komandan Batalion Banteng. Wawolumaja mengajak kami bergabung ke dalam kesatuannya. Dia mengiming-imingi kami akan diberi posisi mulai dari wakil komandan regu sampai komandan peleton. Akhirnya  kelompok 13 dari Peleton Combat yang telah bertempur dan bertekad “sama-sama hidup, sama-sama mati” bubar terpisah dalam kesatuan masing-masing.

        Setelah kurang lebih 2 bulan sebagai wakil komandan regu dalam Batalion Banteng, saya diajak Jan Kaunang, komandan Combat dari Batalion Sambar Nyawa pimpinan Daan Karamoy. Jan dan rombongannya  ‘kebetulan’ lewat wilayah Bn. Banteng di lereng Gunung Lokon (Masering).

        Dalam rangka menyusun kekuatan dan melebarkan wilayah teritorialnya, Daan Karamoy selain di Mahawu (Kembes), juga berupaya menguasai Lokon. Karamoy mengkup Kapten Wawolumaya. Kemudian dia mem-bentuk batalion Sambar Nyawa ‘B’. Dia mengangkat kakaknya Marten Karamoy selaku komandan batalion. Selanjutnya menugaskan Jan Kaunang untuk meng-koordinir kelompok-kelompok Permesta sekitar Tinoor dan Warembungan. Dan saya oleh Daan Karamoy ditugaskan mendampingi Jan Kaunang sebagai Bintara Kompi.

        Dari markas batalion “Sambar Nyawa” di Mahawu, rombongan Jan Kaunang sebanyak 18 orang dengan 11 pucuk senjata, melalui Desa Kali menuju perkebunan Tinoor. Saat menyeberang jalan raya Manado – Tomohon (kilo 12), terdengar deruman mobil dari arah Manado, ternyata sebuah bus Tomohon. Dikira hendak merampok, para penumpang yang panik langsung menyodorkan uangnya yang  tentu kami tolak. Mereka merelakan rokok dan beras. Sedang asyik ngobrol dengan penumpang, kami dipergok 3 truk pasukan TNI yang mungkin berencana operasi ke selatan Minahasa. Kami berhamburan lari naik perbukitan sambil dikejar tentara pusat. Kemudian isyu berkembang bahwa gerombolan Permesta merampok dan aniaya penumpang dan sejak itu bus penumpang dikonvoi dengan kawalan tentara TNI dan panser.                                                                                                                       

        Baru seminggu menempati barak yang dibuat dalam hutan sekitar 200 meter dari bron Warembungan, Jan Kaunang menugaskan satu regu membongkar instalasi air minum. Dan seminggu kemudian dengan dikawal tentara TNI dan satuan Polisi Militer dari Pineleng, petugas kotapraja (belum ada PDAM) memasang kembali pipa-pipa tersebut. Malamnya regu sabotase turun untuk membongkar lagi. Operasi ini harus dibayar mahal dengan hilangnya satu kaki dari anggota bernama Ottay (Tinoor). Ottay terpijak boobytrap. 

        Dalam kurun waktu 3 bulan sejak berangkat dari Mahawu telah terekrut  52 anggota. Dengan memiliki 36 senjata organik dari kelompok bersenjata sekitar Tinoor, Sea, anak-anak Bahu, Malalayang, Pineleng dan Warembungan. Di antaranya teman-teman bekas anggota Peleton Combat Kompi Kinilow. Secara taktis pasukan kami merupakan kesatuan independent yang menguasai wilayah Kalasey, Malalayang, Bahu, Warembungan, Sea, dan Tinoor. Dari Gunung Bantik (belakang Pineleng) sampai Gunung Empung di atas Tinoor. Pasukan kami lebih dikenal Text Box: Selama kurang lebih dua setengah tahun bergerilya kesatuan kami gonta-ganti batalion, dari Bn ‘D’ Sambar Nyawa Daan Karamoy ke Bn. Sambar Nyawa “B” Marten Karamoy yang dikup oleh Polly Pauner Bn.Mahawu  kemudian Bn. V  Brigade ‘999’ masih Polly Pauner, dikup oleh Mayor Boy Potu Bn.Tarantula.dengan ‘Pasukan Jan Kaunang’  dijuluki ‘Jin Kilo 11’ yang ditakuti oleh kawan dan lawan karena keberanian dan kebringasan  anggotanya dalam bertempur.  

           Akibat aksi teror dan penghadangan yang sering dilakukan Pasukan Kaunang pada akhir tahun 1958, membuat tentara pusat terusik. Juga penasaran dengan ulah segerombolan Permesta di pinggiran selatan Kota Manado. Semula Pasukan Kaunang diremehkan.

        Mendapat serangan pertama dari pasukan Mongdong, ex-milisi Tjaper yang membelot, dipimpin oleh Piter Tumurang. Baku tembak hanya berlangsung 2 jam.  Perang ini berakhir dengan pengejaran terhadap anak buah Piter Tumurang yang kucar-kacir turun ke Pineleng. Akan mencari tahu keberadaan Piter yang bersembunyi saat itu, kami memanggil-manggil: “Kalumpang” [1]. Piter Tumurang terpancing emosinya. Dia akhirnya berteriak: “O koi-namio, Tomu’ung” Jawaban tersebut membocorkan dimana posisinya. Piter saat itu rupanya terjebak dalam bak kontrol air PAM. Namun oleh nekat berkorban ajudannya, beliau luput dan ‘tumingkas’. Dia berlari menyusul anak buahnya. Dengan membembeng cepatu lars kiri di tangannya (mungkin ‘so blas’ karna tidak biasa). Si Tambeng, ajudannya asal Talete (ex-atlit PON), kami kuburkan  di perkebunan Warembungan.

        Informasi yang ada, saat tiba di Pineleng dengan geram Piter Tumurang menghardik masyarakat  “Ngoni batowo (berdusta) bilang cuma 300, ada  5000 dorang di Warembungan.”  Keesokan harinya masyarakat yang tiap malam biasanya menyiapkan makanan untuk pasukan kami, dievakuasi ke Pineleng. Namun justru markas kami pindahkan ke Kampung Warembungan (1 km dari jalan raya).

        Seminggu kemudian, serangan oleh 1 kompi RPKAD. Dan sebagaimana memerangi pasukan Mongdong, terjadi perang kucing-kucingan di belakang Warembungan. Pasukan kami secara berkelompok 3 – 4 orang menempati cot-cot kebun  pisang dan milu. Meskipun RPKAD dikenal dengan kemampuan prima penguasaan medan (all condition and weather) tetapi mereka kewalahan. Karena mendapat tembakan dari segala arah. Ada yang sengaja kami biarkan lewat dulu baru dihajar tembakan. Dari anggota kami tidak ada yang korban. Di pihak musuh, Lettu. Mokalu[2] kena peluru di kaki.

        Kemudian markas dipindahkan ke hutan “Ranow” kurang lebih 6 km dari Warembungan. Hanya dalam waktu 2 bulan, lokasi  kami telah diketahui oleh musuh. Sebaliknya rencana operasi TNI bocor melalui informan. Menurut informasi, pasukan Permesta akan dikepung. Di Warembungan telah ada satu batalion pasukan penyerang dibantu kesatuan PAP (Pasukan Anti Permesta). Juga satu kompi  musuh standby di Sea, dan satu kompi di Tinoor. Saat subuh  kami menyiapkan tempat hinderlaag (penghadangan). Hinderlaag berada di bukit-bukit ladang padi, menghadap jalan setapak ke markas.  Di belakang batang-batang pohon (bekas tebangan saat membuka ladang) kami jongkok mengamati musuh yang sedang mengamankan rute penyerangan. Mereka menghamburkan peluru mortir. Tampak di depan kelompok forspit musuh berjalan dalam formasi siaga. Sambil berjalan, mereka menembak ke depan dan ke samping. Mereka memasuki hutan, disusul oleh ratusan tentara yang juga melepaskan tembakan-tembakan sporadis. Sepasukan musuh bersiaga di peladangan padi bersama satuan mortir dan kelompok perwiranya.

Rentetan tembakan dan dentuman tersebut seakan sudah terjadi perang. Gumpalan asap tebal terlihat dari arah markas.  Satu jam kemudian gerombolan musuh keluar dari hutan. Mereka bernyanyi “Nona manis siapa yang punya..nona menado punya siapa..nona menado brawijaya  punya.. ado manis manis e…” Disambut sorakan dari teman-temannya yang mulai membakar pondok-pondok pengeringan padi dan milu…

 



 

lanjut ke Bagian 7                                                   kembali ke Bagian 5

         

Uploaded on http://tumoutou.com/permesta    by   rudyct     October 1, 2007

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Sebelum Permesta bila ketemu Piter Tumurang, sambil kucing-kucingan di belakang toko-toko, kami memanggilnya ‘kalumpang’, (entah mengapa julukan itu dibenci beliau) dan dengan menerobos  toko, Piter mengejar sambil berteriak-teriak “koinamio”.

[2] Thn 1961 di Kamp Rehabilitasi Dinoyo Jawa Timur, kami dikunjungi Lettu RPKAD Mokalu (asal Rumengkor) dan kawan-kawan