©  2007 Edwin Ngangi

Posted by Edwin Ngangi,  ewiend_ngangi@yahoo.co.id

 

 

PEMBERONTAKAN PERMESTA

 

Oleh : Joseph Frans Natanael Ngangi (CHEP)

 

Bagian 4

 

 

 

 

 ‘TJAPER’ PATRIOT PERMESTA

 

….Ketika terdengar komando mundur, seorang anggota CTP yang jongkok di samping penulis, mengerang kesakitan sambil meraba-raba keningnya. Dia bertanya “E, kita peluka dimana kang?” Darah kental menutupi seluruh mukanya. Dengan selembar sobekan daun pisang muda, penulis letakkan pada telapak tangannya dan menyuruh dia menekan biji mata kanannya ke dalam. Sambil merangkak, anak CTP tersebut yang mungkin so buta, dengan tangan kiri meraba jalan memanggil-manggil  “Tolooong… palang mera…tolong!” …..

 

          Setelah peleton kami ditarik dari Suwaan, oleh Mayor Ottay disuruh  standby di Markas KMKB (Komando Militer Kota Besar) Manado. Markas berlokasi di sisi kiri pertigaan Kampung Pondol (sekarang. Laboratorium Prodia). Sepanjang malam terjadi tembakan meriam dari 2 kapal corvet ALRI. Kapal ini lempar jangkar di sisi selatan Pantai Manado Tua. Sasaran utamanya perbukitan sekitar Teling. Di lokasi tersebut terdapat ‘steleng’ arteleri (mitraleur 12,7 dan pompom) Permesta. Pada siang hari, secara bergantian, dengan pesawat AURI membom dan menembaki ke seluruh penjuru  kota.

          Suasana Kota Manado sangat  mencekam. Rumah-rumah penduduk semuanya tertutup rapat. Kemungkinan pemiliknya mengunci diri atau mengungsi ke tempat yang aman. Jalan-jalan sepi, hanya beberapa kendaraan militer yang sewaktu-waktu melintas dengan kecepatan tinggi. Udara berkabut asap mesiu. Terdengar suara tembakan senjata mesin dari pertempuran di Tuminting dan Kairagi. Dentuman dan ledakan mortir serta lonser bersahut-sahutan. Ditambah dengan deruman mesin 2 pesawat tempur Mustang dari AURI  yang simpang siur di atas Kota Manado.

         Mulai pagi peleton kami digilir beregu berpatroli menyusuri jalan-jalan dalam kota. Sementara terus menerus dihantam peluru meriam kapal yang meledak-ledak di belakang truck patroli. Di depan gedung Bioskop Luxor (sekarang kantor Universitas de La Salle), roket mortir musuh dari arah Tuminting meledak tepat pada bumper dan menghancurkan mesin truk. Sehingga regu patroli pulang jalan kaki ke Komando KMKB.

          Pada malamnya kami ditugaskan menunggui unit senjata berat mitraleur dan howitzer di pantai lokasi tangki minyak raksasa BPM  (sekarang Kantor Pertamina). Ketika sedang merokok sambil duduk di atas body senjata berat, dari kapal corvet tiba-tiba terlihat kilatan peluru api yang beruntun. Seorang teman berseru “Awas mo tabakar torang!” Kawatir akan meledaknya 3 buah tanki minyak raksasa, kami kocar-kacir lari menghindar. Karena gelap, kami kesasar dan terperangkap dalam gulungan rumput mimosa. Sambil menunggu terjadinya ledakan dahsyat, keadaan yang tadinya terang benderang akhirnya gelap kembali. Ternyata tembakan dari kapal tadi adalah  peluru kembang api. Paginya  terlihat tangan dan muka para Tjaper goblok penuh goresan dan pakaian masih tersangkut rumput mimosa. Seorang teman berkata  “So itu kalu isap roko basambunyi. Dorang di kapal mangiri pa torang ada isap roko Lucky Strike deng Triple Five.”.                                              

           Pada siang bolong akhir Juni 1958, suhu udara panas oleh terik matahari. Peleton Combat diberangkatkan dari markas KMKB menuju front Tuminting.  Duduk di atas body 3 panser rongsokan yang kepanasan. Panser bergerak tersendat-sendat dan sekali-sekali digoncang oleh ledakan peluru corvet. Tiba di pertigaan Tuminting (sekarang pasar) kami diperintah dalam formasi siaga. Dan berjalan di belakang panser masing-masing. Kami menyusuri jalan ke arah Maasing yang pada waktu itu masih jalan batu (belum diaspal). Lokasi kiri-kanan pada umumnya masih merupakan kebun kelapa, milu dan ubi kayu. Setelah bergerak maju sekitar 300 meter kami dibrondong tembakan dari sisi kanan. Peluru lonser dan fickers berdesing di samping telinga. Meledak pada body panser dan pada batu-batu jalan.

          Roket-roket mortir menghancurkan pohon kelapa dan tanaman lainnya.  Sementara panser membalas dengan tembakan fickers. Para anggota peleton, sambil tiarap di jalan batu dan berabu tebal, melepas tembakan-tembakan ke kubu musuh.  Posisi musuh  pada lokasi lebih tinggi. Sehingga merupakan faktor kesulitan bagi kami yang berada di medan lebih rendah dan datar. Apalagi pandangan ke depan telah terhalang dengan tebalnya asap mesiu bercampur abu  jalan, yang hambur terbongkar akibat ledakan peluru lonser dan mortir. Juga menyulitkan untuk bernafas.

          Baku tembak berlangsung kurang lebih stenga jam. Setelah itu anggota peleton menumpuk di samping kiri ketiga panser yang terus menghambur tembakan. Tembakan ini untuk menahan gerak pasukan musuh yang tampaknya mulai menuruni perbukitan. Pada akhirnya panser-panser kehabisan amunisi. Dan juga sudah tidak berpeluang lagi untuk berbalik apalagi mo ahteret. Malahan salah satu panser mesinnya ‘kumabal’ sehingga coba didorong oleh panser lainnya. Menyadari akan situasi kritis tersebut kamipun merangkak mundur dan meninggalkan ketiga panser karatan tersebut yang  telah penuh benjol-benjol dan ‘peot’ akibat terjangan peluru lonser dan senjata berat musuh. Gerakan mundur peleton kami dari Tuminting sampai Wawonasa dikejar dan dihujani oleh mortir musuh.

          karena kelelahan, penulis bersama beberapa teman semalam suntuk tasono dalam bekas bungker tentara Jepang (di halaman bekas Kantor Dinas Kebersihan). Pada malam tersebut musuh telah berhasil menyusup maju sampai sekolah cina (?). Paginya kami diperintahkan untuk masuk parit-parit di perbukitan belakang rumah penduduk (di atas pertigaan Wawonasa). Tembak menembak berlangsung siang dan sepanjang malam. Lamanya tembak menembak tersebut mengakibatkan laras senjata memerah kepanasan. Jeritan terkena tembakan terdengar dari kedua belah pihak yang saling berperang. Kelemahan pasukan Permesta sama seperti di front Suwaan. Tidak adanya dukungan unit senjata berat dan tidak nampak hadirnya kesatuan ex-TNI.

          Uniknya di front Tuminting sementara gencarnya baku tembak, anggota kami secara bergantian disuguhi kopi panas dalam gua-gua (bekas gudang senjata tentara Jepang dalam Perang Dunia II). Gua-gua tersebut dibuat tepat di bawah medan pertempuran dan saat itu dipakai masyarakat sebagai lubang perlindungan, lengkap dengan lampu listrik.

          Setelah diistirahatkan seminggu di posko Kinilow, peleton kami diturunkan di front Pineleng. Saat kami tiba sedang seru-serunya ledakan dan dentuman mortir. Begitu ramai desingan peluru serta bunyi tembakan bersahut-sahutan. Kubuh musuh berada di bukit-bukit di belakang Kampus Seminari. Pasukan Permesta mengambil posisi di jalan batu menanjak ke Warembungan. Pertempuran di front Pineleng tersebut jauh lebih seru dan mengerikan. Korban jatuh di kedua belah pihak berlipat ganda dari front-front terdahulu.

Para Tjaper yang kelelahan dan ngantuk tiba-tiba dikejutkan oleh ledakan mortir dan peluru lonser. Ledakan mortir kena di batu-batu. Kemudian ada seruan melalui field-speaker “Jangan tidur de’ !” Dijawab “Ruci, pemai!”  

Pagi-pagi ada teriakan dari Tjaper “Ini sarapan mas.”  Dibarengi dengan tembakan dari barbren ke arah bungker musuh. Dan dibalas “Itu kecil de’, yang ini enak” disusul dengan tembakan 12,7. Peluru 12,7 melobangi batang-batang pohon kelapa. Dan sambil mengunyah si Tjaper menggerutu “..Di situ nasi blek, di sini ubi bakar… ruci..”

          Sebuah kesaksian tragis terjadi di Kilo 11. Ketika 5 orang Tjaper dalam formasi sedang bergerak maju menyusuri tepi jalan aspal, tiba-tiba terdengar desisan mortir yang jatuh tepat pada deretan Tjaper tersebut. Setelah kepulan asap mesiu menipis terlihat akibat ledakan, 3 anggota yang tak sempat tengkurap mengalami cedera di seluruh tubuh. Anggota yang di depan, satu kakinya entah ke mana. Teman yang tengkurap di belakangnya kehilangan sebagian kepalanya. Pakaian kami kena cipratan darah segar… !!

 

 

lanjut ke Bagian 5                                                 kembali ke Bagian 3  

 

       Uploaded on http://tumoutou.com/permesta    by   rudyct     October 1, 2007