© 2007 Edwin Ngangi
Posted by Edwin Ngangi, ewiend_ngangi@yahoo.co.id
PEMBERONTAKAN PERMESTA
Oleh :
Joseph Frans Natanael Ngangi (CHEP)
Bagian 3
Tulisan ini belum selesai
.penulis masih mengingat-ingat
apa yang lain yang belum tertuang, terlewati, dan ter
ter... yang lain. Misalnya
awal pertemuan penulis dengan istri yang adalah seorang tawanan perang
Permesta, yang harus mendapat ACC dari penulis untuk vonis mati karena isu yang
beredar bahwa beberapa anak gadis di Desa Bahu Manado akan menikah dengan
tentara pusat
. ( Joseph FN
Ngangi, 23 Nov. 1937 15 Feb. 2007)
Ataukah
beliau masih mencoba melupakan apa yang sebenarnya sudah terlintas dalam
ingatan? Terlalu pahit
..
TJAPER PATRIOT PERMESTA
Pola hidup kalangan pemuda Minahasa pada era 50-an
sebelum pergolakan Permesta pada umumnya masih sederhana dan seadanya.
Sederhana dan seadanya dalam arti kata belum tersentuh kehidupan glamour seperti generasi muda sekarang.
Umumnya belum mengenal pakaian jeans, belum ada televisi, belum ada handphone atau sepeda motor. Apalagi
yang disebut mall atau tempat-tempat
hiburan seperti pub dan bar. Hasrat bergaul muda-mudi sebagai makhluk sosial
pada masa itu disalurkan dalam bentuk perkumpulan. Perkumpulan berupa olahraga: atletik, balap sepeda, volley ball, body building, club picnic
atau dance club. Kegiatan-kegiatan
lain, seperti: mendengarkan lagu-lagu barat melalui radio ABC Melbourne, BBC
London, VOA Washington dan noreng film di bioskop. Yang dapat dibanggakan bahwa
pemuda alcoholic pada waktu itu masih
langka dijumpai ataupun tidak ada. Meskipun pada waktu itu belum diberlakukan
larangan miras.
Motivasi dari tole dan utu rame-rame masuk
Permesta merupakan reaksi spontan.
Pemuda Minahasa terdorong oleh tersebarnya isu bahwa Presiden Soekarno
dan perdana menteri Djuanda telah diintimidasi oleh D.N. Aidit. Aidit adalah
Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), yang bermaksud mengkomuniskan seluruh
republik, termasuk Minahasa. Suatu provokasi yang ampuh untuk membangkitkan
semangat para pemuda Minahasa yang dikenal dengan ciri-ciri karakteristiknya. Pemuda
Minahasa adalah: pemberani, herois (ksatria atau kepahlawanan) dan bernaluri avonturis (bukan avonturir) yaitu nekat bertualang mencari pengalaman dengan
menyempret-nyempret bahaya, meminjam istilah Bung Karno ber-vivere pericoloso. Sehingga bila ditanyakan,
para Pemuda Minahasa pada umumnya ingin merantau (sumengkot) atau tekeng tentara. Dan yang tidak bisa dipungkiri
yaitu sifat sombong membanggakan asal-usul etnis (zei reen). Gejala psychologis ini membentuk temperamen
Pemuda Minahasa biar kala nasi, mar nyanda kala aksi, yang penting action, bastel jagoan tiki pinggang di
perampatan jalan.
Pada saat so jadi tentara Permesta, Tjaper
menyandang senjata thomson atau barbren ala Audy Murphy dalam film To Hell and Back. Sarung pistol terikat di paha,
gaya bintang film cowboy Allan Ladd. Pada helm (topi baja)
atau punggung kemeja dari para Tjaper ditulis: Patriot, Apache, Partisan Permesta, Makasiou dan lain sebagainya.
Tekad untuk membela Permesta dan melawan tentara
komunis rezim Soekarno, para pemuda dan pelajar mendaftarkan diri dalam
kesatuan-kesatuan. Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain: Batalion Togas di
Tondano, Batalion Manguni di Langowan, Batalion Bolang di Tonsea, Batalion
Tombulu di Tomohon, Pasukan KoP2 (Komando Pemuda Permesta), CTP (Corps Tentara
Pelajar) dan TPR (Tentara Pelajar Revolusioner). Sambil menunggu persenjataan,
yang tak kunjung datang, para Tjaper dengan penuh antusias berlatih
baris-berbaris, berseragam seadanya, menyandang bambu runcing atau sebilah kayu
berbentuk senjata mainan yang dibuat sendiri.
Operasi offensif
Permesta adalah membom Ambon, Palu dan Makasar. Kejadian ini dikontra-aksi oleh
APRI (Angkatan Perang RI) dengan membombardir instalasi-instalasi militer di
Manado. Sementara itu ada konsentrasi pasukan TNI di Ambon dan Makasar untuk
persiapan penumpasan Permesta di Minahasa. Pada awal Juni 1958 pendaratan KK0
di Kema mengawali perang frontal
antara Permesta dan TNI pusat.
Seminggu setelah pendaratan KKO di Pantai Kema, Kelompok 9 Tole Tomuung[1] mendaftar di Staf Umum-I
KDM SUT di Pineleng. Kelompok 9 Tole
Tomuung direkrut dalam Peleton Combat
Kompi Kinilow. Kompi Kinilow taktis di bawah Komando Staf TT VII Wirabuana yang
bermarkas di Thermomandi (sekarang Indraloka) Kinilow. Dari 37 personil anggota
peleton Combat, selain kami asal
Tomohon juga terdiri dari pemuda-pemuda Pineleng, Warembungan dan beberapa dari
Manado serta Tombariri. Setelah konsinyir 3 hari di Pineleng, Peleton Combat menerima inventaris berupa :
2 pasang seragam hijau, 2 pasang cepatu boots,
koppelriem, topi baja, jacket, dan ransel berisi kebutuhan lainnya. Kemudian
disusul penerimaan senjata, antara lain
thomson, sten-gun, 3 buah barbren dan senjata laras panjang seperti L.E. dan
kirof. Masing-masing dilengkapi dengan 2 buah granat. Selain itu, ada pembagian
tanda-tanda heran (badge), seperti:
Komando Staf VII Wirabuana, Combat,
KDM.SUT, Kompi Kinilow, dan kain pita merah pada lengan untuk code KMKB Manado.
Peleton Combat
yang terdiri dari 3 regu ditugaskan bergilir dalam 1x24 jam berjaga-jaga di
perbukitan sekitar jembatan Pineleng, pertigaan jalan ke Lota (patung Imam
Bonjol). Dengan berkelompok 3 orang bergantian menunggui pos pengintai dengan
bendera signal di puncak Gunung Bantik, di belakang Pineleng (sekarang lokasi
salib raksasa). Pengintaian ini untuk pengamatan perairan Teluk Manado.
Disamping pengintaian, juga berkesempatan mengenali dan mencoba cara
menggunakan senjata masing-masing.
Pada pertengahan Juni 1958, peleton
kami diturunkan malam hari di Suwaan. Posisinya kurang lebih 400 meter dari
kubuh musuh. Saat itu sedang gencar-gencarnya dentuman mortir, letusan dan
desingan peluru dari kedua pihak yang bertempur. Belum sempat melompat dari
truk, di tengah bisingnya bunyi tembakan yang simpang siur kami dikejutkan oleh
ledakan-ledakan keras di dekat truk. Semula kami belum paham akan bunyi desisan
roket mortir bila jatuhnya dekat. Untungnya pada malam tersebut dari peleton kami tidak ada
yang korban. Kami hanya sempat mendengar
teriakan minta tolong dari seorang teman yang jatuh ke dalam talaga (umumnya
halaman depan di Suwaan ada kolam ikan). Teman tersebut, karena takut
tenggelam, mengepak-ngepakan tangannya. Tetapi dia mengalami kesulitan dengan
beban bawaannya. Dia membawa senjata barbren dan rantai peluru yang dilingkar pada
tubuhnya. Teman tersebut juga kesulitan mengapung karena ransel dan cepatu
larsnya penuh terisi air.
Pada keesokan harinya terlihat
posisi musuh yang membarikade jalan di depan pabrik Sudesco (sekarang dikenal
pasar kukis Airmadidi). Musuh dilengkapi dengan beberapa kendaraan lapis baja
(tank dan panser). Sekitar jam 10, dipimpin Mayor John Ottay, pasukan Permesta
dalam formasi menyerang. Pasukan Permesta terdiri dari kesatuan KMKB, CTP, Kompi
D dan peleton Combat di lini
tengah. Kami menyelinap dan menyusup di antara rumah penduduk. Namun rupanya
pihak TNI yang profesional dapat mendeteksi gerakan tersebut. Sampai pada jarak
tempur yang tinggal kira-kira 100 meter belum ada tembakan balasan dari pihak
musuh. Namun dengan tiba-tiba brondongan peluru senjata organik pasukan TNI
meledak-ledak. Peluru berdesingan, tetapi desingannya bukan dari depan tapi
dari samping kiri-kanan formasi kami.
Ternyata tentara pusat, malam sebelumnya telah membuat jebakan dan kami
terpancing dalam formasi pengepungannya. Sementara peluru mortir menghantam
lapisan belakang pasukan Permesta.
Gerakan maju tentara TNI dengan sangkur terpasang. Ini pertanda mereka siap
melakukan man to man war. Pasukan
Permesta hanya memiliki jenis persenjataan dari masa perang Korea, tidak
terlatih dan belum berpengalaman. Para Tjaper tidak dapat mengelak dari
gempuran pasukan TNI. Tidak terpikirkan untuk menyerah. Tidak ada pilihan,
selain melakukan perlawanan walaupun sadar perkelahian akan tidak berimbang.
Karena merasa barbren yang dipegang penulis kurang effisien dalam sikon
sedemikian, penulis tukarkan dengan thomson automatic
dari teman.
Sangat mengerikan dalam menyaksikan banyaknya anggota pasukan Permesta yang
jatuh korban. Korban banyak berjatuhan oleh senjata semi automatic Garran buatan terbaru Amerika. Juga oleh tusukan bayonet.
Korban pasukan permesta terbiar tanpa dapat diberi pertolongan.
Pada saat puncak kritis tersebut, datang bantuan sepasukan
CTP. Walau tidak dapat lagi merubah keadaan. Dan dari anak-anak CTP didapat
informasi bahwa mereka baru saja mundur dari Bandara Mapanget yang telah di
kuasai oleh RPKAD.
Berita tentang jatuhnya Mapanget, juga
gerakan tentara musuh yang mendarat di Wori yang kemudian sedang melaju
mendekati Tuminting serta menyaksikan teman-teman yang berjatuhan sangat
menggoyahkan spirit dan keberanian Tjaper-Tjaper yang sedang ditantang maut di front Suwaan. Dengan meninggalkan teman
yang korban, para Tjaper langsung berbalik dan lari kocar-kacir di tengah
hantaman tembakan musuh. Kami berupaya keluar dari pengepungan.
Sialnya ketika berhasil lepas dari kemelut tersebut para Tjaper terkapar
dalam zone sasaran hujan mortir.
Hantaman mortir kembali meminta korban. Juga akibat kekonyolan tentara
ingusan ini. Dibalik bercanda untuk menutupi perasaan takut, kami menerapkan
arti ungkapan sama-sama hidup, sama-sama mati. Sehingga dimana seorang teman
tengkurap berlindung di situ mereka bersusun bangkai. Penulis pernah
tertindih dengan 2 sosok tubuh teman. Syukur tidak menjadi sasaran mortir hanya menjadi korban gas dari
knalpot seseorang.
Beberapa faktor yang
tidak mendukung eksistensi pasukan Permesta di
Ketika terdengar komando mundur, seorang anggota CTP yang jongkok di
samping penulis, mengerang kesakitan sambil meraba-raba keningnya. Dia bertanya
E, kita peluka dimana kang? Darah kental menutupi seluruh mukanya. Dengan
selembar sobekan daun pisang muda, penulis letakkan pada telapak tangannya dan
menyuruh dia menekan biji mata kanannya ke dalam. Sambil merangkak, anak CTP
tersebut yang mungkin so buta, dengan tangan kiri meraba jalan memanggil-manggil Tolooong
palang
mera
tolong!
.
lanjut ke Bagian 4
kembali ke Bagian 2
Uploaded on http://tumoutou.com/permesta by rudyct
[1] Nama 9 Tole Tomuung: Paul
Timbuleng, Stani Randang, Buce Mengko, Jopi Senduk, Jantje Poluan, Anton
Imbang, Boy Imbang, Kobus Holungo, semua asal Paslaten Tomohon, dan Chep Ngangi
asal Walian Tomohon (Penulis).